Cari Blog Ini

Kamis, 04 Maret 2010

STUDI AGAMA DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI

STUDI AGAMA DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI
(Konsep, Kritik dan Fakta)

Oleh : Ah.Zakki Fuad


A.Pendahuluan
Studi agama oleh sebagian besar kelompok masyarakat dikritik dengan keras yang di alamatkan kepada lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam karena menjadikan agama sebagai obyek studi ilmiah (scientifc study), apalagi pendekatan yang digunakan adalah filsafat. Menurut mereka, agama yang merupakan wahyu Tuhan adalah sesuatu yang memiliki kebenaran absolut, berada di luar kemampuan akal manusia untuk menjangkaunya sehingga cukup dipercayai dan diamalkan saja. Bagi mereka, agama merupakan petunjuk (huda>) yang harus diikuti oleh manusia, sehingga tidak selayaknya dijadikan sasaran studi ilmiah.
Menurut Amin Abdulah, kritik dan anggapan semacam ini bukanlah hal yang aneh, karena studi dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman saja, tidak semua orang awam dapat mendalami seluk beluk permasalahannya secara akademik, apalagi studi dalam wilayah ‘ultimate concern’ yang menyangkut agama, way of life, pedoman hidup, dan Weltanschauung.[1]
Pada dasarnya antara studi Islami (agama) dan filsafat memang mempunyai form of life sendiri-sendiri, tetapi menghubungkan keduanya ternyata punya kesulitan tersendiri. Kesulitan lebih terletak pada format hubungan antara “ konsepsi” yang mempresentasikan agama dan ‘konsepsi yang mrmpresentasikan filsafat. “konsepsi agama sering dirasakan lebih akurat daripada filsafat, tidak jarang konsepsi yang diajukan filsafat menyatakan lebih baik dari “konsepsi” yang diajukan agama. Bahkan ada aliran filsafat yang ada aliran filsafat tertentu yang mengeliminasi peran metafisik dan etik, di mana keduanya sangat menonjol dalam pemikiran keagamaan.[2]
Di sisi lain fenomenologi yang notabene pemikiran filsafat dipakai untuk studi Islam maupun studi-studi yang lain. Aplikasi fenomenologi dalam berbagai disiplin ilmu hampir tidak mengalami banyak kesulitan, tidak demikian halnya dalam pemahaman agama. Kesulitan itu bersumber dari: pertama, kenyataan bahwa agama-agama itu berkembang, sehingga agama merupakan objek kajian yang hidup dan berkembang secara khas. Kedua, agama itu bersifat individual, subjektif, batiniah, loyalitas adalah tuntutan terpokok dalam beragama. Akibatnya, dalam studi agama orang sering membandingkan agama-agama dengan metodenya sendiri, seraya merumuskan keunggulan agamanya.
Studi agama, khususnya fenomenologi agama yang menggunakan seperangkat ilmu-ilmu sosial yang bersifat interdisipliner memberi masukan yang berharga pada khazanah keilmuwan Islam. Hal ini membuktikan studi agama memang unik dan khas, mungkin juga paling sulit. Kesulitan terletak pada kenyataan pertama, bahwa jika ilmu-ilmu lain mengandaikan dapat membedakan secara tegas dan lugas antara peran “objek” dan “subjek” dalam telaah dan akademik mereka, sedangkan dalam studi agama hal demikian tidak mungkin dilakukan. Keterlibatan peran “subjek” sangat kental dalam studi agama, namun adanya fenomena ‘objek” diluar subjektivitasnya pengamat atau peneliti jelas-jelas ada. [3]
Pada reduksi fenomenologis, disaring tentang realitas “objek” dan “subjek”. Objek diselidiki hanya sejauh disadari. Objek dipandang menurut relasinya dengan kesadaran. Terhadap fakta tidak diadakan refleksi maupun tidak diberi statemen. Pada reduksi eiditis, dicari hakikat dari fenomena. Yang dimaksud hakikat adalah struktur dasariah yang meliputi isi fundamental, semua sifat hakiki, semua relasi hakiki dengan kesadaran dan dengan objek lain yang disadari. Untuk mencari hakikat, disaring dan dibersihkan semua aspek yang hanya kebetulan, tidak penting, dan hanya berhubungan dengan objek individual. Reduksi transendental-fenomenologis merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai terjadinya penampakan diri, serta mengenai akarnya dalam kesadaran. Kesadaran yang ditemukan dalam reduksi ini adalah kesadaran subjektivitas murni, atau sama dengan aku transendental. Tetapi kemudian, aku transendental kehilangan status terisolir. Dunia berada menurut adanya komunitas individu yang bersifat intersubjektif.
Oleh karena itu fenomenologi sangat diperlukan dalam rangka studi agama, walaupun pada tataran aplikatif, fakta di lingkungan akademisi masih banyak pandangan yang berbeda tentang hal tersebut.

B. Konsep Fenomenologi
Fenomenologi merupakan sebuah metode filosofis yang dikembangkan oleh Edmund Husserl awal abad ke-20 dilingkungan Universitas Gottingen dan Munich di Jerman. Kemudian pada perkembangan selanjutnya tema fenomenologi di kembangkan oleh para filusuf di Perancis, Amerika Serikat dan tempat-tempat lain di dunia. Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, “phainein” yang berarti “memperlihatkan”, yang dari kata ini muncul kata phainemenon yang berarti “sesuatu yang muncul”. Atau sederhananya gerakan fenomenologi dianggap sebagai “kembali kepada benda itu sendiri” (back to the things themselves).[4]
Sedangkan konsep fenomenolgi itu sendiri juga dikembangkan oleh para Filusuf lainnya seperti Hegel dan Husserl sendiri.
1. Edmund Husserl mengatakan “ phenomenology is primarily concerned with making the structures of consciousness , and the phenomena which appear in acts of consciousness, objects of systematic reflection and analysis”. Dalam konsepsi Husserl, fenomenologi terutama berkaitan dengan pembuatan struktur kesadaran, dan fenomena yang muncul dalam tindakan kesadaran, objek refleksi sistematis dan analisis. Ini dipahami bahwa fenomenologi merupakan sebuah studi tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut merujuk kepada obyek-obyek di luar dirinya.
Studi ini membutuhkan refleksi tentang isi pikiran dan mengesampikan segalanya. Husserl menyebut tipe refleksi ini reduksi fenomenologis. Karena pikiran bisa diarahkan kepada obyek-obyek yang tidak eksis dan riil, Husserl mencatat bahwa refleksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, namun lebih tepatnya sama dengan “pengurungan sebuah keberadaan,” yaitu, mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari obyek yang difikirkan
Husserl mengemukakan beberapa karakteristik fenomenologi filosofis yang memiliki korelasi dengan fenomenologi agama. Diantaranya:
o Watak deskriptif. Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak fenomena, cara tentang tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar pengalaman manusia.
o Antireduksionisme. Pembahasan dari prakonsepsi-prakonsepsi tidak kritis yang menghalangi mereka dari menyadari kekhususan dari perbedaan fenomena, lalu memberikan ruang untuk memperluas dan memperdalam pengalaman dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang lebih akurat tentang pengalaman ini.
o Intensionalitas. Cara menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang fenomenolog perlu memperhatikan struktur-struktur intensional dari datanya, dan struktur-struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dengan maknanya yang diinginkan.
o Pengurungan (epoche). Diartikan sebagai penundaan penilaian. Hanya dengan mengurung keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang didasari pada pandangan alami yang tidak teruji, seorang fenomenolog dapat mengetahui fenomena pengalaman dan memperoleh wawasan tentang struktur-struktur dasrnya.
o Eidetic vision. adalah pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, sering kali dideskripsikan juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi universal”. Esensi-esensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness) dari sesuatu, ciri-ciri yang penting yang tidak berubah dari suatu fenomena yang memungkinkan kita mengenali fenomena sebagai fenomena jenis tertentu.[5]
Fenomenologi Huserl menekankan pentingnya suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikan seperti penampilannya. Fenomena yang dimaksud oleh Huserl adalah kehadiran data dalam kesadaran, atau hadirnya sesuatu tertentu dengan cara tertentu dalam kesadaran kita. Fenomena dapat berupa hasil rekaan atau sesuatu yang nyata, gagasan maupun kenyataan. Pendapat Huserl tentang fenomena bukan berarti dia berpihak kepada idealisme atau realisme, juga bukan mensintesiskan keduanya. Fenomenologi Huserl justru bersifat pra-teoritik. Fenomenologi justru menempati posisi sebelum ada pembedaan antara idealisme dan realisme

2. Hegel menjelaskan, bahwa fenomenologi menunjuk kepada pengetahuan sebagaimana ia tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang difikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui Sains dan Filsafat “menuju pengetahuan yang absolut tentang Yang Absolut”. [6]
Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (Wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan-perwujudan. Maksud Hegel adalah memperhatikan bagaimana ini mengantarkan kepada suatu pemahaman bahwa semua fenomena dalam sebuah keberagamannya berakar pada esensi atau kesatuan yang mendasar (Geist atau Spirit).
Permainan tentang hubungan antara esensi dan manifestasi ini menyediakan dasar bagi pemahaman tentang bagaimana agama, dalam keberagamannya, dapat difahami sebagai entitas yang berbeda. Ia juga, berdasarkan pada realitas transenden, yang tidak terpisah dari namun dapat dilihat dalam dunia, memberikan kepercayaan kepada pentingnya agama sebuah obyek studi karena kontribusi yang bisa diberikan kepada pengetahuan “saintifik”.

C. Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama pada awal kemunculannya bertujuan memperoleh pengatahuan tentang gejala-gejala agama. Kemudian berusaha memahaminya, dan pada akhirnya menemukan esensi (wussen) agama. Di samping itu fenomenologi agama berupaya untuk menjahui penndekatan-pendekatan sempit, etnonsentris, dan normatif agama. Ia berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama seakurat mungkin. Dalam penggambaran, analisa dan interpretasi makna, ia berupaya untuk menunda penilaian tentang apa yang riil atau tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia berupaya menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama seperti yang muncul dalam pengalaman keberagamaan orang lain.
Fenomenologi agama digunakan pertama kali oleh Pierre David Chantaphie de la Saussaye, seorang ahli studi agama dari Belanda, dalam karyanya Lehrbuch der Religionsgeschichie (1887) kemudian pada perkembangan selnjutnya dikenal dengan studi ilmiah agama (scientific studi of relegion ). Menurutnya, fenomenologi adalah pensisteman dan klasifikasi aspek-aspek yang terpenting dari perbuatan keagamaan dan dari ide-ide keagamaan. [7]
Pada perkembangannya, fenomenologi agama sangat dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi Hegel dan Edmund Husserl. Menurut Gerardus van der Leeuw, metode fenomenologi agama terdiri atas tujuh fase:
1. Klasifikasi, yaitu menamai gejala yang muncul.
2. Mengikutsertakan gejala itu ke dalam kehidupan kita, karena yang muncul itu selalu merupakan sebuah tanda dengan arti yang pasti, dan yang harus diinterpretasi. Interpretasi itu hanya dapat dilakukan kalau gejala itu dialami dengan sengaja, sadar dan dengan metode.
3. Epoche, yaitu pengurungan (bracketing) sementara semua pertimbangan nilai normatif. Selama penelitiannya, fenomenolog agama harus menahan diri dari memberikan penilaian, karena penilaian yang belum waktunya akan menghalang-halangi pengetahuan tentang esensi, sebuah konsep yang diambil dari filsafat Hegel.
4. Mencari esensi gejala dan “tipe ideal” hubungan struktur-struktur.
5. Das verstehen, yaitu mengerti dan memahami gejala-gejala agama.
6. Mengadakan koreksi terhadap hasil penelitiannya dengan bantuan filologi dan ilmu purbakala.
7. Memberikan kesaksian hasil peneliannya.[8]
Para ilmuwan mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap pemahaman fenomenologi agama. Pandangan terhadap fenomenologi agama ini bisa secara berkelompok maupun secara individu. Pandangan kelompok terhadap fenomenologi agama terbagi atas beberapa kategori :
a). Kelompok yang memahami, bahwa fenomenologi agama tidak lebih dari sebuah investigasi terhadap fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati.
b). Kelompok ilmuwan Belanda, dari P.D. Chantepie de la Saussaye hingga sejarawan agama Skandinavia Geo Windegren dan Ake Hultkrantz, yang mengartikan fenomenologi agama sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda.
c). Kelompok ilmuwan yang mengartikan fenomenologi agama sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama. Di antara kelompok ini seperti W.Brede Kristensen, Gerardus van der Leeuw, Joachim Wach, C.Jouco Bleeker, Mircea Eliade, Jacques Waardenburg,
d). Kelompok Max Scheler dan Paul Ricoer yang menganggap fenomenologi agamanya dipengaruhi oleh fenomonologi filsafat. Sedangkan Rudolf Otto, Gerardus van der Leeuw dan Mircea Eliade, mnengemukakan, bahwa metode filsafat secara umum dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi. [9]
Sedangkan pendapat individual dikemukakan oleh Willem Brede Kistensen, guru besar van der Leeuw, memberikan prinsip penting lain kepada Fenomenologi Agama, yaitu prinsip bahwa setiap agama harus dimengerti dari sudut pribadi, dan dengan itu agama juga dimengerti oleh penganut-penganutnya. Meskipun demikian, Kristensen menekankan bahwa fenomenolog agama tidak pernah dapat mencapai pengetahuan lengkap mengenai agama-agama lain.
Tokoh lain seperti Ursula King juga menunjukkan pentingnya prinsip Kristensen ini. Begitu pula seorang ahli Ilmu Agama dan Islamolog, Wilfred Cantwell Smith. Prinsip ini juga ditekankan oleh fenomenolog agama kontemporer seperti Mircea Eliade. Sehingga bisa dikatakan bahwa dalam fenomenologi Agama, perasaan dan pengalaman keagamaan (sympathetic understanding) fenomenolog dianggap sebagai prinsip metodologis yang perlu untuk mengerti agama dan menemukan esensi agama.
Jadi dari sini bisa dipahami, bahwa Fenomenologi agama adalah studi agama dengan cara membandingkan berbagai fenomena yang sama dari berbagai agama untuk memperoleh prinsip universal. Dalam upaya itu, prinsip kerja fenomenologi Huserl khususnya epokhe eiditis dipergunakan. Ia juga bisa dipahami sebagai pendekatan terhadap persoalan-persoalan agama dengan mengkoordinasikan data agama, menetapkan hubungan, dan mengelompokkkan data berdasar hubungan tersebut tanpa harus mengadakan komparasi tipologis antar berbagai gejala agama.
Dari sisi metodologi, Fenomenologi agama adalah suatu metode pendekatan dalam studi agama dengan tanpa memperhatikan sejarah suatu agama, tetapi yang diperhatikan adalah bagaimana agama menampakkan diri. Fenomena agama atau gejala yang dengannya agama menampakkan diri menjadi perhatian utama dalam rangka memahami hakikat agama. Dengan metode fenomenologi dicoba ditemukan struktur dasariah agama yang meliputi isi fundamental, sifat hakiki, relasi hakiki dengan kesadaran dan dengan objek lain yang disadari. Fenomenologi agama tidak hanya ingin mendeskripsikan fenomena yang ditelaah, tidak juga hanya menerangkan hakikat filosofis fenomena, lebih dari itu suatu fenomena religius diberi arti secara lebih mendalam sebagaimana dihayati manusia religius. Fenomenologi agama seperti itu adalah dalam rangka menghindari bias subjektif dan ketidaksesuaian antara penyelidikan dengan kenyataan agama sebagai suatu yang dialami dan dihayati.

D. Kritik Terhadap Fenomenologi Agama
Eksistensi fenomenologi dalam studi agama memperoleh tantangan dari sebagian para ilmuwan karena menjadikan agama sebagai obyek studi ilmiah (scientifc study) apalagi pendekatan yang digunakan adalah filsafat. Menurut mereka, agama yang merupakan wahyu Tuhan adalah sesuatu yang memiliki kebenaran absolut, berada di luar kemampuan akal manusia untuk menjangkaunya sehingga cukup dipercayai dan diamalkan saja. Bagi mereka, agama merupakan petunjuk (huda>) yang harus diikuti oleh manusia, sehingga tidak selayaknya dijadikan sasaran studi ilmiah. Kritik dan anggapan semacam ini bukanlah hal yang aneh, karena studi dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman saja, tidak semua orang awam dapat mendalami seluk beluk permasalahannya secara akademik, apalagi studi dalam wilayah ‘ultimate concern’ yang menyangkut agama, way of life, pedoman hidup, dan Weltanschauung. [10]
Sedangkan dalam tulisan ini, perdebatan atau kritik terhadap fenomenologi diambil dari buku James L.Cox, A Guide to the Phenomenologi of Relegion [11]. Perdebatan ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: terkait dengan keberlangsungan Fenomenologi Sebagai Tradisi filosofis, motif yang bersifat teologis dan keterlibatan ilmuwan agama pada aspek sosial dalam masyarakat. Kritik dan perdebatan yang dilakukan dikemukakan sebagai berikut:
1. Gavin Flood tentang keberlangsungan Fenomenologi Sebagai Tradisi Filosofis
Gavin Flood mengkritik tentang keberlangsungan fenomenologi sebagai tradisi filosofis yang menjadi dasar pengembangan riset agama. Menurut Flood, metode yang diperkenalkan para fenomenolog, yang mencoba membatasi pengaruh bias-bias yang mungkin merusak, yang digambarkan oleh Kristensen dan Parrinder sebagai aplikasi teori-teori evolusioner kepada agama dan budaya, serta oleh Eliade dan Smart sebagai kecenderunga-kecenderungan reduksionistis dalam ilmu-ilmu sosial, didasari pada teori filosofis yang memasukkan bias yang lebih dalam, namun lebih sederhana, ke dalam cara suatu pengetahuan diperoleh dan diatur. Dengan mengansumsikan pengalaman universal manusia pada jantung semua agama yang dipahami secara kognitif (intuisi) oleh “subjek yang terpisah”.
Para fenomenolog mengabaikan, atau setidaknya memperkecil, pentingnya konteks-konteks kultural, historis dan sosial. Di samping itu, “keistimewaan epistemik” yang diberikan kepada periset tetap tersembunyi, karena ia menyembunyikan relasi kekuasaan antara periset dengan komunitas yang diteliti. Dengan melakukan pengurungan fenomenologis untuk komunitas yang diteliti. Dan untuk menghilangkan semua tipe prasangka, ilmuwan agama secara paradoksal tetap mengkontrol pengetahuan dan dengan demikian membuat aturan-aturan untuk menafsirkan fenomena keagamaan. [12]
Hal di atas akan mengakibatkan fenomenologi rentan terhadap tuduhan bahwa ia sebenarnya menyebarkan satu metode untuk mempertahankan kekuasaan terhadap objek kajian akademis, meskipun ada kesepakatan maya di kalangan fenomenolog bahwa pengalaman keagamaan personal mereka memberikan akses istimewa ke dalam pikiran seorang praktisi keagamaan klaim terakhir terhadap pandangan keagamaan ini, yang tidak terdapat pada ilmuwan lainnya, sangat kuat menyiratkan agenda teologis di balik fenomenologi agama, dan kemudian menyebabkan ketegangan antara teologi dan kajian akademis tentang agama-agama.

2. Donald Wiebe Tentang Motif Teologis Fenomenologi Agama
Doland Wiebe menganggap ada proses teologisasi terhadap kajian akademis tentang agama-agama yang dilakukan oleh tiga tokoh, yaitu Van der Leeuw, Elliade dan Smart.. Van Der Leeuw, menyatakan bahwa setiap ilmuwan mesti berangkat dari sebuah orientasi kultural terhadap kehidupan, yang sangat serupa dengan posisi keyakinan pribadi, dan menegaskan bahwa karena ilmuwan disituasikan dalam sebuah konteks khusus, maka aktivitas ilmiahnya tidak dapat dipisahkan dari “pencarian religio-kultural” ilmuwan itu sendiri.
Menurut Wiebe, Van der Leeuw dianggap menyesatkan, karena pandangan tersebut mencegah bias-bias peneliti dari keadaan dikenali dan diklarifikasi secara kritis-ilmiah. Argumen ini menghancurkan tujuan akademis yang didukungnya tepatnya karena ia “mengabaikan perbedaan-perbedaan kritis antara agama dan kajian ilmiah-akademis tentang agama”. Ini berarti bahwa Van der Leeuw, yang mencoba memindahkan tradisi Belanda yang telah dimulai oleh Chantepie de la Sausaye dan C.P. Tiele melampaui teologi, sebenarnya malah melakukan kebalikannya dengan mengarahkannya kembali kepada teologi. [13]
Dari sini dipahami bahwa, kritik terhadap fenomenologi agamanya van der Leeuw didasari pada asumsi bahwa pendekatan fenomenologisnya didasari pada sejumlah asumsi teologis dan metafisis, dan penilaian-penilaian; seringkali bersifat subyektif dan begitu spekulatif, mengabaikan konteks kultural dan historis dari fenomena agama dan kurang bernilai bagi riset yang berbasis empiris.
Donald Wiebe juga mengkritik metode hermeneutik Elliade yang disebutnya sebagai “sebuah upaya untuk memulihkan kembali nilai-nilai dan makna-makna transenden yang telah ditinggalkan yang pernah diberikan kepada para penganutnya oleh tradisi-tradisi itu”.
Pandangan ini didukung oleh penegasan Eliade bahwa bentuk-bentuk agama kuno dan primitif adalah paradigmatik bagi kehidupan agama secara umum karena mereka mengungkap situasi-situasi eksistensial fundamental yang secara langsung relevan dengan manusia modern. Wiebe melihat minat Elliade dalam tradisi-tradisi kuno dan primitif tidak berangkat dari satu pendekatan ilmiah terhadap kajian agama, karena ini akan mengharuskan distorsi reduksionistik terhadap kebenaran agama dann karenanya, distorsi kebenaran tentang menyembunyikan “agenda teologis yang terselubung”.
Untuk mendukung hal itu, ia mengutip pandangan Elliade bahwa dengan menafsirkan agama secara “religius”, ilmuwan memberikan kontribusi kepada “penyelamatan” “manusia modern”. “Pengetahuan tentang agama” dengan demikian menjadi “pengetahuan religius”, yang dalam pandangan Wiebe mengkonfirmasi metode hermeneutik Elliade “tidak bisa dibedakan dari religio-teologis.
Dari sini di pahami, bahwa Van der Leeuw maupun Elliade menganggap ada kesamaa pandangan tentang seorang yang religius mengakui adanya kekuatan transenden atau realitas yang supranatural sebagai sumber pengalaman keagamaan manusia. Mereka menegaskan bahwa ini benar buat orang beriman, bahkan mereka melampaui pernyataan ini dengan menegaskan bahwa yang transenden membentuk satu realitas ontologis, yang dalam sebagian hal ilmuwan mesti mengalaminya secara personal jika pemahaman yang murni tentang agama ingin dicapai atau dikomunikasikan
Wiebe juga mengkritisi gagasan-gagasan Ninian Smart, menurut Wiebe, ketika dianalisis secara hati-hati memunculkan pula asumsi-asumsi teologis yang sama di balik fenomenologi agama. Ini tampak jelas pada penolakannya untuk mengikuti posisi “ateisme metodologis”-nya Peter Berger karena alasan itu mungkin bisa menyakiti komunitas beriman. Smart juga bersikukuh pada pandangan bahwa mempelajari agama” dan merasakan kekuatan yang hidup dari agama” tidak hanya bisa berjalan bersama, tetapi ”mesti berjalan bersama jika kajian tentang agama diharapkan bisa masuk ke dalam era baru yang menjanjikan”. Malah kebalikannya, petuah Smart ini “lebih mungkin memasuki kajian religio-teologis tentang agama yang darinya kajian ilmiah tentang agama pertama kali muncul. “Wiebe menyelidiki apa yang dianggap deskripsi ambigu Smart karena memasukkan pertanyaan tentang kebenaran agama, yang melampaui kepentingan-kepentingan ilmah, meskipun Smart mengatakan bahwa kajian agama sangat berbeda dari teologi. [14]
Dengan mengangkat isu tentang kebenaran agama, Smart sebenarnya membangun kembali ikatan-ikatan awal antara kajian akademis tentang agama dan kesalehan. Kembalinya Smart kepada perspektif teologis, menurut Wiebe, ditegaskan oleh caranya menghadapi epoche (pengurungan). Apa yang disebut Smart dengan “pengurungan ekspresi” sebaliknya memberikan ruang bagi ilmuwan untuk memasukkan ke dalam penilaian-penilaian yang ditunda itu perasaan-perasaan yang diekspresikan oleh para penganut agama, tanpa mendukung atau mengabsahkan perasaan-perasaan itu.

3. McCutcheon tentang Peran Publik Ilmuwan Agama
McCutcheon berpandangan ada dua masalah yang dilakukan oleh ilmuwan agama. Pertama, mereka bersikukuh pada otonomi disiplin keilmuwan mereka, dan ini mempengaruhi tindakan pemisahan kajian-kajian agama secara kelembagaan dari disiplin-disiplin ilmu lainnya di universitas. Dengan menentukan fokus agama sebagai yang tidak bisa diketahui, non-historis, suci-transenden. [15]
Pandangan yang mengatakan, bahwa jantung agama adalah “keimanan personal”, “supranatural”, “suci”, atau “transenden” membawa kepada tafsiran agama yang sangat individualistis yang menurut McCutcheon, terletak pada akar pembedaan problematis antara agama dan dunia (sekular). Dikotomi agama-sekular ini didasari paa asumsi bahwa agama untuk ruang privat. Agama, menurut McCutcheon, dijelaskan sebagai variabel bebas yang menempati ruang bersih bagi pandangan moral yang pribadi dan murni, yang menentang dan menyelamatkan politik dan ekonomi yang berantakan.
Tantangan ilmuwan agama sekarang ini apakah mereka akan menerima peran publik atau tidak. Peran publik di sini bukanlah keterlibatan praktis dengan isu-isu sosial dan politik, namun sebagai seorang kritik yang membuka tabir “mekanisme kekuasaan dan kontrol”. Ini diterapkan pertama kali pada cara dimana agama-agama dipelajari dan merujuk kepada pengujian-diri yang kritis terhadap metode dan teori dan studi agama. Di ruang publik, ilmuwan mempertanyakan “bukti-bukti diri”, mengangkat “kebebasan intelektual” dan dengan bekerja sama dalam cara lintas-disiplin dengan ilmuwan-ilmuwan lain yang menggunakan metode yang diambil dari bidang studi mereka, mengidentifikasi strategi-strategi ideologis yang menghomogenisasi dan yang begitu penting bagi pembentukan dan pengaturan komunitas manusia. McCutcheon menyebut peran ini dengan “kritik budaya” (cultural criticism).

E. Respons James L. Cox Terhadap Perdebatan Kesinambungan Fenomenologi Agama[16]
Perdebatan tentang kesinambungan filosofis, dari fenomonomologi agama menurut Cox seharusnya diletakkan dalam istilah subyek-subyek, atau apakah mereka harus dipahami secara naratif atau dialogis. Dalam hal ini, kontribusi Flood berasal dari penekanan pada pemasukan persepektif komunitas beriman ke dalam tafsiran yang diberikan ilmuwan tentang komunitas beriman itu. Flood berupaya melampaui ini dengan menegaskan bahwa empati sebenarnya mengabdikan perbedaan antara subjek dan objek.
Cox memandang, bahwa selama aturan-aturan yang digunakan oleh riset akademis diterapkan, hal terbaik yang bisa dicapai oleh ilmuwan adalah sejenis empati radikal, yang berakar pada refleksi diri, namun yang mengakui pembedaan fundamental antara “diri” (peneliti) dan “yang lain” (objek penelitian). Fakta ini tidak menghalangi dialog karena ilmuwan mesti berjalan menurut komitmen yang jelas terhadap rasionalitas ilmiah, yang berjalan berdampingan dengan komitmen keagamaan dari komunitas yang diteliti oleh ilmuwan.
Studi agama dalam pandangan Cox juga mencakup teologi sebagai bagian dari wilayah kajiannya. Teolog, setidaknya dalam satu definisi, merupakan praktisi. Mereka mempelajari, menganalisa, menafsirkan, secara umum dalam satu tradisi, makna dari apa yang dipertahankan tradisi. Ilmuwan agama menganggap teologi sebagai cara-cara dimana sebagian komunitas merefleksikan realitas alternatifnya. Dengan kata lain, teologi, seperti ritual, moralitas, mitos, kitab suci, komunitas, hukum dan seni, membentuk bagian dari data yang dijadikan sandaran bagi aktivitas kajian agama. Ini bukanlah menegaskan satu posisi superioritas, namun hanya menentukan peran-peran yang cukup berbeda bagi kajian agama dan teologi.
Dari sini Cox menentang upaya-upaya untuk mendorong kajian agama masuk ke dalam teologi secara definisi atau menempatkannya dalam kajian budaya. Cox tetap tidak yakin dengan argumen-argumen yang diberikan Wiebe dan Fitzgerald dan menangkal bahwa apa yang kita lakukan dalam kajian fenomenologis tentang agama sebagai analisis dan interpretasi terhadap komunitas yang melembagakan perilaku dalam ilmu-ilmu sosial, dan tidak sama dengan ilmu sosial lainnya. Kajian agama, dalam pandangannya hidup bersandingan dengan teologi di departemen universitas sebagai bagian dari komitmen ideologis yang mendalam kepada satu rujukan transenden. Berdasarkan alur pemikiran ini, adalah mungkin setia terhadap posisi fenomenologi klasik bahwa kajian agama bisa non-teologis dan no-reduktif kepada ilmu sosial apapun.
Sedangkan terkait keterlibatan ilmuwan agama terhadap masalah sosial, Cox setuju dengan McCutcheon bahwa seorang ilmuwan agama perlu memainkan peran publik, dalam arti “sebagai kritik, bukan pengurus”. Sebagai seorang yang mempunyai kemampuan dan ketrampilan untuk menganalisa konteks-konteks agama. Ilmuwan mesti memikul tanggung jawab untuk menerapkan ini kepada isu-isu penting yang mempengaruhi masyarakat. Ini berarti bahwa peran ilmuwan sebagai kritik publik tidak pernah terjadi dalam satu cara yang terlepas dari konteks sosial.

F. Penutup
Perbedaan pemikiran dalam memahami fenomenologi dalam kerangka studi agama bukan sesuatu yang aneh, karena sesungguhnya tidak ada satu pendekatan pun yang sempurna dalam studi agama. Masing-masing mempunyai kelemahan. Hal ini terkait erat dengan objeknya itu sendiri, yakni agama, yang bersifat kompleks dan beragam. Karena itu, untuk menghasilkan pengetahuan yang lebih komprehensif diperlukan perpaduan, pembauran antar berbagai pendekatan. Perpaduan yang ideal, adalah yang mengambil pola sirkuler, bukan paralel apalagi linier.
Perbedaan mendasar antara pendekatan dogmatis-normatif cenderung mengukuhkan sekat-sekat dan melahirkan truth claim karena memang ia dibangun di atas asumsi kebenaran dan sebagai upaya memahami dan meyakini ajaran-ajaran agama. Sedangkan ilmu-ilmu sosial cenderung reduksionis terhadap agama, karena memandang agama semata-mata sebagai fenomena sosiologis-antropologs.
Dengan melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing pendekatan, kita harus pandai mengkolaborasikan keduanya dalam satu hubungan yang tepat akan menghasilkan kekayaan intelektual dan moral yang sangat berguna bagi kehidupan umat manusia serta menjadi keilmuwan yang baik. Begitu pula dengan fenomenologi agama. Kekurangan-kekurangan yang ada di dalamnya tidak seharusnya disikapi dengan ekstrim dengan membuang jauh-jauh. Karena di samping kekurangan-kekurangan, masing-masing juga memiliki kelebihan.
Kelebihan fenomenologi agama memahami dan mencari esensi keberagamaan. Pencarian esensi yang merupakan unsur universal agama-agama, akan dapat memahami kesamaan esensi agama-agama. Pada fakta yang terjadi sekarang, dimana dunia sudah masuk era pluralisme dan multikulturalisme, kelebihan-kelebihan fenomenologi agama dapat membantu menciptakan sikap-sikap terbuka, toleran dan menghargai para penganut agama yang berbeda-beda.
Akhirnya fenomenologi dalam kerangka kajian agama dikritik tetapi juga masih dibutuhkan untuk memahami esensi agama itu sendiri.
Wallahu A’lam..


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Amin Abdullah, Falsafah kalam di Era Postmodrnisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,1995.
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas Atau Historisitas?. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Amin Abdullah, Mempertautkan Ulum ad-Din al-Fikr al-Islamy dan Dirasat Islamiyah, (Yogyakarta; Makalah Workshop Pembelajaran Inovatif Berbasis Integrasi-Interkoneksi, 2008), .Amin Abdullah, Mempertautkan Ulum ad-Din al-Fikr al-Islamy dan Dirasat Islamiyah, Yogyakarta; Makalah Workshop, 2008.
Conollly, Peter (Ed.) Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yokyakarta: Lkis, 1999).
Cox, James L., A Guide To The Phenomenologi Of Religion, New York: T&T Clark International, 2006.
Clark Moustakas, Phenomenological Research Methods, (London: Sage Publication, 1994)
Douglas Allen, Phenomenology of Relegion, dalam The Routledge Companion to the Study of Relegion, London, Routledge, 2005.
Daya, Burhanuddin, Dkk, (Ed), Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia Dan Belanda,
Herman L.Beck, Ilmu Perbandingan Agama dan Fenomenologi Agama dalam Burhanuddin Daya (ed) Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 1992)
Herman L.Beck, Ilmu Perbandingan Agama dan Fenomenologi Agama dalam Burhanuddin Daya (ed) Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 1992)



[1] M.Amin Abdullah, Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 22
[2] M.Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodrnisme, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,1995), 117.
[3] M.Amin Abdullah, Mempertautkan Ulum ad-Din al-Fikr al-Islamy dan Dirasat Islamiyah, (Yogyakarta; Makalah Workshop Pembelajaran Inovatif Berbasis Integrasi-Interkoneksi, 2008), 45.
[4] Clark Moustakas, Phenomenological Research Methods, (London: Sage Publication, 1994), 26.
[5] Douglas Allen, Phenomenology of Relegion, dalam The Routledge Companion to the Study of religion, (London and New York: Routledge, 2005), 189.
[6] Douglas Allen, Phenomenology….190.
[7] Ahmad Norma Permata (ed), Metodologi Studi Agama , Kumpulan Tulisan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 13.
[8] Herman L.Beck, Ilmu Perbandingan Agama dan Fenomenologi Agama dalam Burhanuddin Daya (ed) Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 1992), 47.
[9] Douglas Allen, Phenomenology….185.
[10] M.Amin Abdullah, Falsafah kalam di Era Postmodrnisme.., 117
[11] James L.Cox, A Guide to the Phenomenologi of Relegion: key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates,(New York: T & T Clark International, 2006), 209-219.
[12] James L.Cox, A Guide to the Phenomenologi of Relegion, 214-215.
[13] James L.Cox, A Guide to the Phenomenologi of Relegion, 218.
[14] James L.Cox, A Guide to the Phenomenologi of Relegion, 220.
[15] James L.Cox, A Guide to the Phenomenologi of Relegion,227-228.
[16] James L.Cox, A Guide to the Phenomenologi of Relegion, 233-235

Tidak ada komentar:

Posting Komentar