Cari Blog Ini

Rabu, 24 Maret 2010

Pendidikan Islam Modern

DUNIA PENDIDIKAN Islam adalah sebuah sarana atau pun furshoh untuk menyiapkan masyarakat muslim yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di sini para pendidik muslim mempunyai satu kewajiban dan tanggung jawab untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, baik melalui pendidikan formal maunpun non formal.

Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lain.Pendidikan Islam lebih mengedepankan nilai-nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia yang berakhlakul karimah serta taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman, yang menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan indrawi semata.

Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan juta jiwa. Indonesia juga adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia Muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agam Islam terbesar di dunia. Jika dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan kualitasnya. Jumah yang sangat besar tersebut juga mampu menjadi kekuatan sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang besar di atas juga akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan nasional.

Namun realitas membuktikan lain. Jumlah manusia Muslim yang besar tersebut ternyata tidak mamiliki kekuatan sebagaimana seharusnya yang dimiliki. Jumlah yang sangat besar di atas belum didukung oleh kualitas dan kekompakan serta loyalitas manusia Muslim terhadap sesama, agama, dan para fakir miskin yang sebagian besar (untuk tidak mengatakan semuanya) adalah kaum Muslimin juga. Kualitas manusia Muslim belum teroptimalkan secara individual apalagi secara massal. Kualitas manusia Muslim Indonesia masih berada di tingkat menengah ke bawah. Memang ada satu atau dua orang yang menonjol, hanya saja kemenonjolan tersebut tidak mampu menjadi lokomotif bagi rangkaian gerbong manusia Muslim lainnya. Apalagi bila berbicara tentang kekompakan dan loyalitas terhadap agama, sesama, dan kaum fakir miskin papa. Sebagian besar dari manusia Muslim yang ada masih berkutat untuk memperkaya diri, kelompok, dan pengurus partainya sendiri. Masih sangat sedikit manusia Muslim Indonesia yang berani secara praktis-bukan hanya orasi belaka-memberikan bantuan dan pemberdayaan secara tulus ikhlas kepada sesama umat Islam, khususnya para kaum fakir miskin papa.

Paradoksal fenomena di atas, yakni jumlah manusia Muslim Indonesia yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki kekuatan ideologi, kekuatan politik, kekuatan ekonomi, kekuatan budaya, dan kekuatan gerakan adalah secara tidak langsung merupakan dari hasil pola pendidikan Islam selama ini. Pola dan model pendidikan Islam yang dikembangkan selama ini masih berkutat pada pemberian materi yang tidak aplikatif dan praktis. Bahkan sebagian besar model dan proses pendidikannya terkesan “asal-asalan” atau tidak professional. Selain itu, pendidikan Islam di Indonesia negara tercinta mulai tereduksi oleh nilai-nilai negatif gerakan dan proyek modernisasi yang kadang-kadang atau secara nyata bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran secara global tentang pendidikan Islam Indonesia saat ini sebagai landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah satu factor penyebab atau “biang keladi” terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat “amburadul” dan tidak “karu-karuan”.

Kalau kita kembali kepada sejarah pendidikan Islam di Indonesia, maka kita akan temukan bahwa pada awal munculnya pendidikan Islam tidak terlepas dari peran para pembawa Islam ke Indonesia sendiri. Jadi sebelum pendidikan Islam ada, terlebih dahulu Indonesia dimasuki oleh para penyebar Islam, walaupun menurut kajian sejarah bahwa para ahli berbeda pendapat tentang waktu dan pembawanya masuknya Islam ke Indonesia. Ada yang mengatakan pada abad ke-7 seperti yang dikatakan HAMKA dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia (1963). Ada lagi yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13. Teori ini dicetuskan oleh seorang orintalis Snouck Hurgronje, yang belajar agama puluhan tahun di mekkah dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Terlepas dari perbedaan tersebut, pendidikan Islam di Indonesia telah ada semenjak Islam masuk ke Indonesia. Yaitu, melalui dakwah mereka dalam menyebarkan Islam, walaupun bentuknya tidak formal seperti sekolah-sekolah yang ada sekarang. Seperti, sambil berdagang mereka mendakwahkan Islam. Seiring perjalanan sejarah, pendidikan Islam semakin tahun semakin mengalami perkembangan. Apalagi setelah muncul dua organisasi besar Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’ (NU). Kedua organisasi ini bergerak dalam bidang dakwah melalui pendidikan, ada yang dengan sistem klasik dan ada yang modern.

Misalnya, Muhammadiyah pada awal berdirinya 18 November 1912 M mendirikan madrasah pertamanya yaitu Al-Qism Al-Arqo’. Madrasah ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah sendiri, dan sekarang berubah nama menjadi PP. Muallimin Muallimat Jogjakarta. Pendidikan semacam ini didirikan oleh Muhammadiyah untuk mengimbangi pendidikan kolonial Belanda yang cenderung jauh dari nilai-nilai keislaman, bahkan cenderung meracuni bangsa.

Sedangkan NU yang didirikan tanggal 31 Januari 1926 M, walaupun menurut sejarah pernah masuk dan menjadi partai politik dan menjadi kontenstan dalam pemilu 1955 dan 1971, organisasi ini tetap menaruh perhatian besar terhadap pendidikan Islam. Memang NU tidak bergerak melalui madrasah-madrasah atau sekolah umum seperti Muhammadiyah, akan tetapi mayoritas pendidikan Islam di NU banyak berkembang di dalam pesantren yang di gunakan sebagai tempat pengkaderan.

Walaupun jalan yang ditempuh oleh kedua organisasi ini dalam mengembangkan pendidikan Islam berbeda, akan tetapi tetap tujuan utamanya sama, yaitu sama-sama ingin menjadikan Islam tetap berkembang di Indonesia melalui cara-cara yang menurut masing-masing biasa dilakukan. Sekarang kita melihat kondisi pendidikan Islam di era modern ini, apakah metode atau jalan yang ditempuh oleh Muhammadiyah dan NU, yang dulunya berbeda tersebut sekarang bisa mengarah pada persatuan. Dan menimbulkan kesadaran pada masing-masing?.

Kita lihat sekarang Muhammadiyah yang pada mulanya tidak terlalu berkecimpung dalam dunia pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam, akan tetapi sekarang sudah mulai memperhatikannya bahkan sudah banyak pesantren-pesantren yang didirikan Muahammadiyah. Kesadaran ini muncul setelah nampak di tengah-tengah Muhammadiyah apa yang dinamakan dengan “krisis ulama’. Relevan dengan ini ialah pendapat Karim yang dikutip oleh Khozin M.Si (2006) dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam “efektivitas pendidikan dan pengajaran agama melalui pesantren juga telah disadari oleh Muhammadiyah yang sepanjang sejarahnya menaruh perhatian pada sistem pendidikan modern”.

Adapun NU yang pada mulanya banyak mencurahkan perhatiannya terhadap dunia pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam, sekarang sudah mulai sadar akan pentingnya dunia sekolah yang cenderung modern dan mengikuti perkembangan zaman. Apalagi di era yang teknologinya serba canggih, Realitas saat ini Keterpurukan dan keterbelakangan pendidikan nasional saat ini tentu mempunyai dampak yang signifikan terhadap pendidikan Islam. Walaupun pada dasarnya secara historis saat ini pendidikan Islam mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan yang signifikan juga dibanding dengan kondisi pendidikan Islam sebelumnya yang berlaku di Indonesia.

Apalagi setelah munculnya SKB 3 Mentri, yaitu Menteri Pendidikan, Menteri Agama dan Menteri Kebudayaan. Dengan ketentuan bahwa ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat begitupun sebaliknya.

Walaupun demikian, tidak dapat dinafikan bahwa masih banyak lembaga-lembaga Islam yang jauh tertinggal. Menurut Abd. Assegaf Pendidikan Islam di Indonesia saat ini bisa dibilang mengalami intellectual deadlock (kebuntuan intelektual).

Indikasinya adalah minimnya upaya pembaharuan dalam pendidikan Islam, Praktik pendidikan Islam selama ini masih memelihara budaya lama yang tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual, model pembelajaran yang masih menekankan pada pendekatan intelektualisme verbalistik dan mengenyampingkan urgensi interactive education and communication antara guru dan murid, orientasi pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada pembentukan insan sebagai abdun (hamba) bukan pada fitrohnya sebagai kholifah di bumi.

Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, Maka pendidikan Islam dituntut untuk bergerak dan mengadakan inovasi-inovasi dalam pendidikan. Mulai dari paradigma, sistem pendidikan dan metode yang digunakan. Ini dimaksudkan agar perkembangan pendidikan Islam tidak tersendat-sendat. Sebab kalau pendidikan Islam masih berpegang kepada tradisi lama yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK, maka pendidikan Islam akan buntu.

Menurut Rahmat Ismail (dalam Khozin, 2006) bahwa ada beberapa hal yang perlu dibangun dan diperbaiki kembali dalam pendidikan Islam supaya dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu:

Pertama : Rekontruksi paradigma, dengan mengganti paradigma yang lama dengan paradigma baru, bahwa konsep pendidikan yang benar harus selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Rekontruksi ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi pendidikan Islam, yakni keluar dari belenggu dikotomi ilmu pengetahuan, keluar dari sistem pendidikan yang doktrinir dan otoriter, terlepas dari penyimpangan profesionalitas pendidik.

Kedua : Memperkuat landasan moral. Kita melihat pengaruh dari globalisasi yang telah menimpa Indonesia, moral barat dengan mudahnya masuk ke dalam negari ini dan dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia, Maka sangat urgen sekali kalau moral para praktisi pendidikan Islam dibangun dan dibentuk dengan kokoh, supaya tidak terpengaruh dengan budaya barat tersebut.

Ketiga : Menguasai lebih dari dua bahasa.

Keempat : Menguasai komputer dan berbagai program dasarnya.

Kelima : Pengembangan kompetensi kepemimpinan.
Adapun menurut hemat penulis agar pendidikan Islam terus berkembang dan selalu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Maka perlu adanya integrasi antara pendidikan Islam Tradisional (pesantren) yang sepanjang sejarahnya dikembangkan oleh NU dan pendidikan Islam modern yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Pendidikan Pesantren diharapkan untuk tetap dapat menjaga originilitas ulama’. Sedangkan pendidikan Islam modern diharapkan dapat menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK. Dalam kaedah usul dikatakan “al-muhafadhoh ‘alal qodimis soleh wal akhdu biljadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik)”

Selain itu juga perlu adanya rekontruksi metode atau model pembelajaran yang digunakan di dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini pendidikan Islam dapat menggunakan metode pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Ini diharapkan dapat mengukuti tuntutan anak modern yang selalu kritis dan lebih berpikiran maju dari anak zaman dahulu yang cenderung manut dan tunduk terhadap apa yang disampaikan guru.

Pendidikan Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan yang sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam bidang teknologi. Sebab selama ini Pendidikan Islam terlalu terkonsentrasikan pada pendalaman dikotomi halal haram dan sah batal, namun terlalu mengabaikan kemajuan IPTEK yang menjadi sarana untuk mencapai kemajuan di era modern ini.

Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi. Ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpasrtisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama atau sains sebaliknya. Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan merasa sains bukan urusan agama. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja.

Sejarah telah mencatat, pada awal abad VIII umat Islam telah menorehkan tinta emas kemajuan iptek jauh sebelum terjadinya revolusi Industri yang diagung-agungkan bangsa Eropa. Kala itu, Ilmuwan-ilmuwan Islam dapat meletakkan dasar kemajuan iptek yang tentu saja atas dasar agama. Diantara ilmuwan seperti, Abu Bakr Muhammad bin Zakariya ar-Razi (Razes [864-930 M]) yang dikenal sebagai ‘dokter Muslim terbesar’, atau pakar kedokteran Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina (Avicenna [981-1037 M]) yang hasil pemikirannya The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb) menjadi rujukan utama ilmu kedokteran di eropa. Al Kawarijmi Jabir Ibnu Hayyan yang meninggal tahun 803 M disebut-sebut sebagai Bapak Kimia. Algoritma yang kita kenal dalam pelajaran matematik itu berasal dari nama seorang ahli matematik Muslim bernama Muhammad bin Musa Al-Khwarizmi (770-840M)

Ilmuwan muslim telah diakui menjadi “jembatan” yang menghubungkan Pra-revolusi dengan kemajuan eropa melalui revolusi industri yang sempat diklaim merubah dunia. Lantas apa yang menyebabkan Islam dapat bersinar kala itu?. Alasannya adalah peran Islam dalam mengembangkan iptek sangatlah luar biasa. Selain ilmuwan-ilmuwan yang bekerja keras, ditambah pemerintahan yang mendukung dengan rela menyewa penerjemah-penerjemah untuk menenjemahkan warisan-warisan ilmuan kuno Yunani. Sehingga nampak bahwa Islam tidak hanya berorientasi pada agama, tetapi juga turut mengembangkan iptek yang sebelumnya dianggap berorientasi pada dunia.

Saat ini bangsa Eropa dan Amerika sedang berada pada posisi atas, mereka memegang peran yang signifikan dalam penguasaan seluruh tataran kehidupan di dunia. Hal ini sesuai dengan Sunatullah yang menyebutkan bahwa, akan ada pergiliran kekuasaan di antara manusia dan ini adalah sebuah kepastian. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) …” Namun pergilirian ini terjadi, selain atas izin Allah, juga bergulir sesuai dengan sunatullah yang lain yaitu usaha keras bangsa Eropa dan Amerika dalam penguasaan berbagai macam disiplin ilmu. Salah satunya adalah sains.

Oleh karena itu, umat Islam harus mengusahakan agar roda itu terus berputar hingga suatu saat nanti giliran umat Islam berada pada posisi diatas dengan cara memadukan Islam dan sains melalui sistem pendidikan. Sehingga Umat Islam dapat menggenggam dunia dengan sistem yang lebih baik dari sekarang. Dan perlu dingat, bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, bila kaum itu yang merubah keadaannya sendiri.

Dan yang sampai sekarang bergolak dalam dada penulis, kapan Rifaiyah akan melakukan rekonstruksi untuk menuju dan ikut serta menorehkan tinta emas dalam percaturan sejarah nasional ?. Sekali lagi, sambil bergumam dalam hati sembari memejamkan mata membangun imajinasi yang rupawan tentang Rifaiyah, penulis mengajak semua intelektual Rifaiyah untuk bersatu dan bersama membangun warisan sang guru ini.

Wassalam

Jumat, 05 Maret 2010

RETHINGKING ISLAM AND MODERNITY


RETHINGKING ISLAM AND MODERNITY
 (Kajian Pemikiran Fathi Osman tentang Pluralisme dan HAM)
Oleh: Ah.Zakki Fuad *)

A.  Pendahuluan
              Perkembangan zaman yang sangat cepat berdampak pada semua aspek kehidupan manusia, terutama terkait dengan perkembangan pemikiran, keberagamaan, keragaman dan keseragaman di dunia di mana semua umat manusia hidup di dalamnya. Persoalan yang sering muncul  pada beberapa tahun terakhir adalah terkait dengan  pluralisme dan HAM  yang banyak dibicarakan, terutama kajian-kajian di Indonesia. Dampak dari perkembangan zaman di mana manusia dengan segala perbedaan pandangan dan pemikirannya menjadikan pluralisme dan HAM di tempatkan dalam posisi yang berbeda. Oleh karena itu terkadang pluralisme dan HAM menjadikan konflik antar sesama umat yang ada di bumi ini.
              Kita tidak dapat membantah, bahwa umat manusia di dunia ini memang berbeda, berbeda dalam  suku, ras, pemahaman teologi, berbeda dalam posisi, kedudukan dan perolehan  menjadikan  antara manusia satu dengan yang lain secara sadar atau tidak sadar akan terjadi gesekan, konflik yang memunculkan berbagai pelanggaran hak-hak manusia satu dengan yang lain. Untuk itu diperlukan formulasi yang tepat yang  yang bisa memahamkan, menyadarkan umat manusia ini supaya menghargai pluralisme yang terjadi ditempat kita hidup sekarang sekaligus menghindarkan dari pelanggaran HAM di antara mereka.
              Dari realitas di atas, Fathi Osman menekankan perlunya Rethingking Islam dalam arti reinterpertasi, reviuw dan mengkaji ulang terhadap teks-teks klasik keagamaan, terutama al-Qur,an dan Sunnah dalam konteks modern. Teks-teks wahyu itu pada dasarnya bersifat permanent, unchangeable, tetapi interpertasi manusia terhadap teks-teks wahyu itu  selalu berubah sesuai dengan perubahan social budaya.[1]                   
              Makalah ini sebenarnya hanya membahas masalah HAM saja, tetapi setelah penulis membaca berbagai referensi tentang Fathi Osman, maka penulis menganggap masalah pluralisme juga penting untuk diangkat dalam rangka  mendukung pemahaman tentang HAM. Oleh karena itu dalam makalah ini kajian akan diawali dengan pemahaman tentang konsep pluralisme Fathi  Osman dan HAM pada bagian berikutnya.
B. Pluralisme dan HAM

           Tema besar pemikiran Fathi Osman  di antaranya terkait dengan pluralisme dan HAM. Konsep pluralisme dikemukakan untuk memahamkan, bahwa perbedaan yang terjadi antara manusia tidak harus dimaknai sebagai  permusuhan dan saling klaim kebenaran antara satu dengan yang lain yang ujungnya berakibat pada konflik bahkan peperangan. Sedangkan konsep HAM ditawarkan sebagai “ruh” penghormatan dan pengakuan atas hak-hak individu maupun hak-hak minoritas yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran  terhadap hak-hak ini juga akan memunculkan konflik antara umat manusia lintas agama, negara maupun ras.

Pluralisme
           Manusia terlahir dalam kondisi yang berbeda, baik secara fisik maupun psikologis. Perbedaan lain terletak pada ras, suku, terdapat juga banyak perbedaan dalam gagasan,  pengetahuan, pendekatan, perioritas dan penilaian yang kesemuanya itu tumbuh dari lingkungan, budaya yang mengelilinginya.
           Agama menempati ruang antara perbedaan bawaan dan perolehan, yaitu agama dapat diwariskan oleh generasi penerus dari generasi sebelumnya, atau dapat pula dikembangkan melalui keyakinan pribadi.  Fakta menyatakan bahwa keyakinan agama paling banyak diwariskan secara kolektif  daripada dikembangkan secara individu menjadikan penerimaan terhadap agama menjadi sesuatu yang penting bagi kesejahteraan manusia.
           Pluralisme adalah kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan  dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain yang tidak melampaui ketiadaan konflik.
           Pluralisme di satu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan legal yang melindungi dan mensahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi maupun kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan maupun perolehan. Pluralisme  menuntut pendekatan yang serius terhadap upaya memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun pihak semua. Semua manusia seharusnya menikmati hak-hak dan kesempatan yang sama, memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas, kepentingannya   dan juga seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama  sebagai warga negara atau warga dunia.[2]
           Pluralisme berarti bahwa kelompok-kelompok minoritas dapat berperanserta secara  penuh dan setara dengan kelompok-kelompok mayoritas dalam masyarakat, sembari mempertahankan identitas  dan perbedaan mereka yang khas. Pluralisme dilindungi oleh negara dan hukum, pertama oleh hukum negara dan akhirnya oleh hukum international. Pluralisme pada dasarnya mengacu hanya kepada perbedaan suku dan agama, tetapi dalam suatu demokrasi perbedaan idiologis dan politis masuk dalam istilah yang sama.
           Orang muslim  dalam suatu negara tertentu harus hidup dengan orang non muslim atau sebaliknya, oleh karena itu harus ada kesadaran, bahwa tidak ada satupun pemahaman yang tunggal mengenai kebenaran. Karenanya  berbagai ragam keyakinan, kelembagaan, komunitas seyogyanya muncul bersama dan menikmati pengakuan yang sama. Hubungan-hubungan itu seyogyanya bersifat membangun apapun keyakinan kelompok tertentu menyangkut kebenaran khusus dan umum.[3]
           Berkaikan dengan pluralisme ini, Islam telah menawarkan banyak hal melalui Nabi Muhammad dan al-Qur’an. Diantaranya al-Qur’an (7:172-173), (17:70)[4] yang menyuratkan, bahwa kita harus membuka diri dan berdialog dengan komunitas lain supaya bisa hidup bersama dalam masyarakat. Kemudian diperlukan nilai-nilai yang harus di taati semua masyarakat secara permanen (“..moral values as justice, honesty and truthfulness are permanently needed in any human society).[5]  Pluralisme juga harus  di dasarkan dengan spiritualitas, moralitas dan martabat yang sama dalam menjalani hidup di komunitas umat yang berbeda.
           Dari sini bisa dipahami, bahwa Islam mengakui adanya pluralisme dalam masyarakat lokal, komunitas  negara, komunitas international yang tidak bisa dihindari, hal ini harus disikapi dengan cara membuka diri, berdialog dengan komunitas lain, agama lain seperti yang telah disiratkan dalam al-Qur’an dan praktek Nabi Muhammad saw ketika memimpin Negara Madinah. Permusuhan atau memusuhi komunitas lain justru nanti akan merugikan Islam sebagai agama dunia.

HAM (Hak Asasi Manusia)
            Al-Qur’an menyatakan, bahwa semua anak adam yang  terkahir kedunia ini  mempunyai martabat yang sama antara satu dengan yang lain. Martabat yang dimiliki anak adam ini harus dilindungi  dan dipertahankan, baik oleh hukum maupun pengusa negara. Manusia adalah mahluk intelek yang diberikan potensi untuk memilik perbuatan baik dan jahat  Sedangkan tanggung jawab  universal manusia adalah melindungi hak individu, hak sosial semenjak ia dilahirkan.[6]
            Setiap manusia harus menyadari, memperjuangkan, mengakui HAM. Sejak dalam kandungan, manusia mempunyai hak yang harus diakui dan dihormati semua pihak yaitu hak untuk hidup. Setelah ia lahir ke dunia, ia mempunyai hak yang lebih luas dalam kaitannya dengan dengan hubungan dunianya maupun orang lain. Sebagaimana diketahui Tuhan memberikan bekal setiap manusia dengan nyawa, rohani dan jasmani. Manusia berhak penuh menggunakan ketiga bekal itu untuk hidupnya.[7]   
            Hal ini bisa dipahami, bahwa HAM adalah hak asasi manusia yang diperoleh dan di bawa sejak ia dilahirkan serta kehadirannya dalam masyarakat tanpa membedakan bangsa, ras, agama, jenis kelamin karena sifatnya asasi dan universal. Pengakuan HAM mengandung arti, bahwa HAM harus dilindungi, baik terhadap pemegang kekuasaan maupun tindakan perseorangan untuk melanggar atau mengurangi hak tersebut.
            Sedangkan problematika modernitas yang terkait dengan HAM dalam pandangan Fathi Osman  adalah:

1.      The Basic Sources
            Pada dasarnya orang Islam terbiasa patuh kepada otoritas teks-teks kitab suci, baik al-Qur’an maupun Sunnah (Prophet’s Tradition), karena kedua sumber ini dianggap bisa mengatur semua aspek kehidupan manusia. Tetapi permasalahan yang muncul adalah ketika mereka bersinggungan dengan hukum hasil produk manusia. Hal ini lebih sulit lagi jika produk hukum yang dihasilkan oleh manusia itu  kontradiksi  dengan  shari’ah  yang mereka pegang, apalagi mereka mayoritas dalam sebuah negara, bahkan yang minoritaspun tak mau  mengikuti hukum produk “non wahyu” tersebut


2. Terminology  and  Semantic
Pemahaman terminologi dam semantik memiliki akar epistomologi dan ontologi yang berhubumgan erat dengan konsep perubahan dalam dunia dan kehidupan. Semua makhluk, baik meteri atau makhluk hidup mengalami perubahan yang terus menerus. Hal ini termasuk juga individu dan masyrakat, begitupulah dengan kebutuhan-kebutuhan mereka karena hanya Allah-lah dzat yang abadi, namun ada nilai-nilai moral tertentu yang disepakati oleh seliruh umat manusia, atau mayoritas dari mereka di waktu dan tempat yang berbeda yang disebut ‘common sense’, tetapi mungkin dipahami dan dipraktekkan dengan cara yang berbeda.
Umat Islam telah terbiasa menggunakan term-term tertentu dari warisan muslim, dan tidak menyadari bahwa bahasa dan budaya adalah manusiawi yang karena itu terbuka pada perubahan. Karena al-Qur’an merupakan kalam ilahi yang abadi, kita cenderung berfikir bahwa warisan intelektual dan religius yang bersumber pada al-Qur’an, mestinya sama kesucian dan keabadiannya.
Seperti  halnya  kata freedom  dalam perspektif  Barat, hal ini berbeda dengan konsep “kebebasan” dalam  al-Qur’an hanya memakai kata tersebut dalam kontek “pembebasan” budak. Orang-orang Arab sebelum Islam tidak menderita karena kelaliman raja-raja atau pendeta, tetapi karena konflik egoisme dan tribalisme. Akibatnya, penggunaan kata ‘freedom’ secara tekstual dalam warisan muslim dibatasi kepada melukiskan sebuah negara kaitannya dengan perbudakan. [8]
Konsep freedom (kebebasan) dalam maknanya yang lebih luas  telah dipahami dengan sangat baik dan sering digunakan tampak dalam karya-karya teologi dan hukum yang tersebar. Ini bertentangan dengan klaim ilmuan Amerika yang sangat terkenal, Franz Rossenthal yang mengatakan bahwa ia tidak menemukan sebuah ‘definisi’ untuk kata ‘Freedom’ dalam maknanya yang lebih luas dalam khazanah muslim  dan menemukan kata tersebut dalam penggunannya yang terbatas pada masalah perbudakan, tahanan, dan buruh paksa, selain wacana teologi tentang kehendak bebas manusia dan takdir.
Ada lagi sebagian muslim yang merasa tidak nyaman dengan kata “hak”, karena istilah kewajiban (takalif) lebih luas penggunannya dalam terminologi muslim. Perdebatan modern seringkali mengabaikan penggunaan istilah-istilah seperti ‘hak Tuhan’ dan hak manusia’ dalam hukum Islam (Usu>l al-Fiqh). Hak mungkin dianggap sebagai kewajiban-kewajiban religius yang berkaitan dengan mereka yang mempunyai hak, dan seharusnya meminta mereka untuk meperjuangkannya dengan cara yang sah untuk mendapatkannya, dan merekalah yang seharusnya menjamin hak-hak orang lain.
Sedangkan istilah justice (keadilan)  yang sering dipakai Al-Qur’an lebih cocok, akurat-komprehensif, dan lebih disukai pemakaiannya daripada istilah Freedom (kebebasan) dan  equality (persamaan). Di samping itu, konsep-konsep yang luas mungkin membutuhkan spesifikasi dan konsep payung dari keadilan, seperti, membutuhkan penekanan dalam keadilan sosial untuk menjauhi ketidakjelasan atau batasan administrasi dan atau hukum.
Berdasarkan pemahaman di atas, kita harus mempertimbangkan secara serius perkembangan sosiologis dari bahasa dan kebutuhan-kebutuhan fungsional-konseptualnya dan harus berusaha melampaui penggunaan literal istilah-istilah yang terbatas untuk memahami maknanya yang lebih luas. Para ahli teologi, ahli hukum, filosof dan pemikir kita secara umum, beberapa abad yang lalu, telah mengembangkan kekayaan istilah-istilah baru yang belum ada sebelumnya, dan tidak digunakan pada masa awal Islam oleh sahabat maupun tabi’in. Bahasa adalah sebuah struktur yang hidup dan berkembang yang secara alami berubah, sebagaimana manusia yang hidup dan berkembang.
   Dengan demikian, betapa elastisnya hukum Islam ketika bersinggungan dengan masyarakat yang selalu berubah pada waktu dan tempat yang berbeda. Sayangnya para ahli hukum muslim dan sejarahnya tidak menikmati pentingnya elastisitas dan dinamika Hukum Islam yang patut dan selayaknya  diajarkan dalam institusi pendidikan shari’ah di berbagai negara muslim. Mereka juga tidak memasukkannya sebagai perspektif pembangunan hukum universal serta menghubungkannya dengan perkembanga sosial di berbagai masyarakat muslim.

1.      Change
         Fathi Osman berpandangan, bahwa semua penciptaan  baik yang berupa materi atau hidup manusia secara terus menerus akan mengalami perubahan, baik menyangkut pribadi  atau masyarakat. Perkembangan manusia juga berbeda sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat.
         Ajaran Islam melalui al-Qur’an sangat definitif dan jelas tentang prinsip-prinsip yang permanen untuk merespon secara dinamis tentang perubahan manusia, dan hanya Tuhan yang abadi.   Hal ini tetulis dalam al-Qur’an 28:88, 52:26-27, 112: 1-2.[9] Tetapi persoalan yang dihadapi umat islam adalah, ketika mereka berhadapan dengan modernitas yang diperkenalkan oleh  Negara Barat mereka bersikan anti terhadap perubahan tersebut.[10]

4.  Formulation and Codification   
         Problematika  universal yang dihadapi umat Islam adalah menyangkut formulasi dan kodifikasi hukum-hukum modern. Problem tersebut terjadi pada aspek terminologis maupun  pada masalah adaptasi terhadap perubahan. Orang Muslim selama ini menganggap  merasa cukup dengan hukum yang sudah ada dan bisa berlaku disemua tempat dan waktu dan dalam konteks manusia yang beragam. [11]
         Pemahaman seperti ini yang selalu menyisakan persoalan di kalangan umat Islam, karena fakta yang terjadi adalah hukum yang telah ada tidak bisa menjangkau aspek-aspek kehidupan dengan segala perkembangannya. Hal ini berakibat muncul pendapat yang beragam bahkan saling klaim kebenaran ketika ada persolan baru yang muncul.

5.  Equality and  the “Other”
HAM adalah universal, diterapkan secara sama untuk semua orang apapun pembawaan lahirnya dan perbedaan-perbedaan yang mungkin diperolehnya. Menurut perpektif universalitas manusia, ‘orang lain’ itu adalah manusia yang sama, baik laki-laki/ perempuan, ras-etnis, kepercayaan, umur, atau idiologinya. Al-Qur’an menegaskan bahwa semua manusia diciptakan dari sebuah kesatuan lahir yang hidup (min nafs wahidah), kemudian dari keduanya berkembang biak menjadi sangat banyak, menjadi beragam ras dan suku.
Umat Islam dalam menjalin hubungan dengan non-muslim harus dengan keadilan, kejujuran, dan kebaikan selama mereka tidak memulai permusuhan dan cenderung menampakkan aksi dan relasi damai. Sebagai umat Islam mungkin belum menerima adanya perbedaan dengan orang lain. Di sini Fathi Osman  akan menjelaskan problem terminologi dan sematik. Nicety (hal yang menyenangkan) penting untuk hubungan manusia, dan ‘equalityi’ bisa menjadi sebuah formalitas legal dan ‘berada di luar’ jika ia tidak didasarakan pada moral hukum dan akhlaq. Meski begitu  sadar atau tidak, ‘nicety’ mengimplikasikan sebuah perasaan superior; seseorang merasa bahwa dia itu superior atas orang lain, meski dia seharusnya menjadi nyaman berkomunikasi dengannya..

Persamaan untuk Perempuan
Pemahaman persamaan untuk perempuan harus dilakukan dengan cara  merubah terminologi kita dan berbicara dengan bahasa umum dunia, maka perdebatan kita dengan para pendukung HAM universal akan selalu menjadi ‘dialog tuli’. Kita terbiasa dengan pemikiran bahwa perempuan diciptakan untuk kehidupan keluarga dan untuk membesarkan anak-anak, oleh karena itu tempatnya yang pantas adalah di rumah.
Dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada yang mendorong secara jelas terhadap beberapa klaim atau asumsi seperti ini. Pembagian kerja antara suami yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya dan istri yang tinggal di rumah dengan segudang pekerjaannya telah ada dalam sejarah mayoritas masyarakat termasuk masyarakat Arab yang muslim dan masyarakat lain di era modern. Bagaimanapun, pengalaman yang sangat panjang dalam banyak negara tidak berarti bahwa hal itu adalah hukum alam yang kekal, tidak juga dapat dibuktikan sebagai hukum Allah dalam Islam.
Penggunaan kata “husband” dan “wife” dalam bahasa Inggris berbeda dengan kata “Zawj” dalam al-Qur’an. Akar kata ‘husband’ berarti nahkoda dan pemimpin di rumah, mungkin merupakan refleksi dari tradisi sosiologis belaka yang diadakan melalui sejarah, sedangkan bahasa Arab menggunakan kata yang sama, yaitu ‘zawj’ yang berarti jodoh atau teman untuk menyebut suami dan atau istri.penambahan akhiran “ah” untuk menunjukkan kata tersebut dalam konteks khusus yang berarti istri, bukan merupakan aturan linguistik atau keharusan.[12] Seseorang boleh memperdebatkan apakah hal ini mungkin lebih baik untuk keluarga atau tidak?
Lebih lanjut Fathi Osman mengatakan bahwa perempuan-muslim/lebih suka tinggal di rumah, tetapi tidak berarti bahwa hal ini merupakan hukum Tuhan yang secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an dan atau as-Sunnah. Diskusi masalah tersebut harus bergerak dari ranah teologi ke ranah sosiologis atau dari wahyu ilahi ke arah kebijaksanaan dan intelektualitas manusia.
Dalam terminologi bahasa Arab, kata ‘qawwamun’ diriingi dengan “ala” yang menggambarkan relasi laki-laki dengan perempuan tidak berimplikasi kepada superioritas. Secara sederhana kata tersebut berarti “pemimpin”. Pengkhususan antara laki-laki dan perempuan itu berkaitan dengan masalah reproduksi; hamil, melahirkan, menyusui, dan merawat anak-anak, yang menyebabkan perlunya laki-laki bertanggung jawab menyediakan kebutuhan mereka dan anak-anaknya, setidaknya ketika perempuan disibukkan (dihalangi) oleh fungsi-fungsi reproduksi ini. Halangan ini tidak permanen dan tidak dapat dijadikan alasan untuk mengharuskan perempuan tinggal di rumah terus sepanjang hidupnya, dan tidak juga menghalangi kemampuan intelektual dan psikologis mereka. Sekarang waktunya untuk melihat perempuan sebagai manusia yang sama-sama hidup, tidak hanya tukang melahirkan dan merawat anak-anak, memasak, bersih-bersih, mencuci, dll.
Membina keluarga dan merawat anak-anak memerlukan upaya bersama antara suami dan istri. Sejak perempuan mempunyai hak dan kewajiban sebagai hasil pendidikan dan petunjuk Tuhan, ia menjadi lebih baik sebagai individu maupun masyarakat, bahkan mungkin untuk seluruh keluarganya. Oleh karena itu, haknya untuk bekerja harus dijamin. Ini berarti suami harus berbagi pekerjaan rumah tangga, karena sangat tidak adil jika istri yang bekerja masih dibebani pekerjaan rumah padahal pernah diriwayatkan bahwa Rasulullah juga membantu pekerjaan rumah ketika beliau ada di rumah.[13]
Atas dasar itu, permasalahan dan urusan keluarga harus dijalankan dan dipecahkan dengan konsultasi dan kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (2:233). Anak-anak harus dididik dan dilatih untuk selalu menggunakan pikirannya dan berani mengungkapkan secara jujur namun sopan ketika melihat susuatu yang salah dalam keluarga maupun lingkungan yang lebih luas.
Hak perempuan atas waris telah ditetapkan dalam al-Qur’an, tetapi boleh ia mendapat tambahan melalui wasiyat (QS.4:11-12). Kehendak sukarela untuk menulis wasiyat yang memberikan mandat dalam pembagian harta warisan ini, sebaiknya diprioritaskan, dan sebagai muslim mestinya merasa bertanggung jawab untuk membuat wasiyat sebagaimana al-Qur’an mendorongnya, bahkan ketika seseorang secara tiba-tiba mendekati kematian tanpa persiapan.[14]
Dalam masyarakat, laki-laki dan perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya. Perempuan mempunyai hak bersuara, menjadi anggota parlemen, menteri, hakim, bahkan bekerja di kantor militer. Pekerjaan apapun sesuai / tidak harus diputuskan sendiri oleh perempuan sesuai dengan kemantapan, keyakinan dan berdasarkan kepentingannya. Di negara modern, ada institusi yang mengatur, bukan individu. Perempuan-beberapa pun jumlahnya-dieksekutif, legislatif, maupun yudikatif, termasuk dalam institusi tersebut dan menjadi subyek atau sistem. Tidak ada seorangpun – laki-laki/perempuan – dapat memiliki/mepertahankan kekuasaan absolut di negara modern.
Dalam bidang persaksian, dipertimbangkannya kesaksian dua orang perempuan yang setara dengan seorang laki-laki dalam dokumen piutang, itu dikaitkan dengan pertimbangkan praktis tertentu, seperti yang secara jelas disebut dalam al-Qur’an (2: 282) ”supaya jika seorang dari mereka –dua orang perempuan-lupa /keliru, maka seorang lagi mengingatkannya”. [15] Jadi pembatasan kesaksian  perempuan dalam dokumen hutang piutang dipahami sebagi hal kondisional dan excepsional.

Relasi dengan non Muslim
Islam mengajarkan keadilan, saling pengertian, kerja sama, dan kebajikan dalam menghadapi non-muslim dan orang lain dalam level negara dan internasional. Umat Islam harus secara jujur berkeinginan untuk mempertahankan perdamaian dengan “orang lain” dalam negara mereka dan seluruh dunia, sembari meningkatkan kebaikan dan kebajikan, bukannya memupuk kejahatan dan agresi. Mereka harus mengembangkan rekonsiliasi, konsolidasi, kerja sama, dan mutual consultation serta membela pihak yang mengalami ketidakadilan dan mendukung orang lain melakukan kebaikan.
Keinginan dalam  konsep HAM universal adalah “persamaan” bukan sekedar “menyenangkan”. Muslim dan non-muslim seharusnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama di sebuah negara muslim; artinya non-muslim dapat bersuara, menjadi anggota parlemen, menteri, hakim, tentara dan mungkin mencapai puncak jabatannya. Mereka seharusnya menikmati hak-hak dasar mereka berupa keyakinan, ekspresi, dan kebebasan berkumpul.
Prinsip umum dalam Islam adalah   tidak paksaan dalam masalah keyakinan. Non muslim dapat memiliki organisasi dan institusi yang dijamin dan terlindungi. Praktek keagamaan mereka dengan simbol-simbolnya yang utama dijamin dan terlindungi. Praktek keagamaan mereka dengan simbol-simbolnya yang utama dijamin pada masa penaklukan awal. Mereka memperoleh akses yang sama kepada pelayanan publik dari negara, khususnya keamanan, kesehatan, pendidikan, pembangunan ekonomi dan jaminan sosial yang disediakan untuk mereka dari hasil zakat dan hasil-hasil lainnya. Gereja dan sinagog hendaknya dilindungi dengan cara yang sama seperti masjid, dan perlindungan terhadap mereka merupakan kewajiban yang legitimed. Mereka seharusnya sama dengan muslim dalam kewajiban seperti pajak dan layanan militer.

6.   Conceptual and Practical Strategy
Sekarang ini umat Islam harus berfikir dan merencanakan langkah konseptual dan praktis dalam hubungannya dengan “orang lain” sebagai bagian dari universalitas dan pluralitas kontemporer, bukan menjadi entitas yang mendominasi atau sebaliknya terisolasi. Penyebutan  “da>r al-Islam” sebagai entitas yang terpisah dari dunia, telah ada dalam sejarah dan teori, tetapi mereka tidak pernah menyebut istilah “da>r al-harb” (yang dibuat oleh beberapa ahli hukum muslim belakangan). Istilah “Ummat” muslim juga jangan sampai diartikan sebagai blok baru yang menambah konflik dan percekcokan dunia, tetapi lebih tepatnya merupakan elemen pembatas untuk perdamaian dan kerja sama. Universitas Islam tidak dibatasi hanya untuk ummat muslim, tetapi merepresentasikan satu anugerah dari Tuhan untuk seluruh alam (21:4).
Di samping itu, organisasi dan gerakan muslim tidak dapat mengklaim merepresentasikan seluruh umat Islam di suatu negara apalagi seluruh dunia. Muslim harus bersikap dan berfikir dalam sebuah negara sebagai bagian dari masyarakat secata keseluruhan, muslim dan non-muslim. Mereka harus menentang keras sesuatu yang berorientasi otoritas dan menghentikan pemikiran bahwa reformasi bagi mereka hanya dapat dijatuhkan dari langit, karena hal ini dapat menggiring mereka untuk percaya bahwa mereka harus berkuasa atau kehilangan kekuasaan.
Kita harus realistik dalam mewujudkan gagasan-gagasan kita; menyadari bahwa cara hidup Islami yang komprehensif tidak dapat dicapai secara instan. Tidak bisa pula hubungan internasional mengarah secara instan menuju keadilan, perdamaian, dan kerja sama. Oleh karena itu kita harus membuat pembedaan antara gagasan dan prinsip, strategi dan taktik dan rencana-rencana jangka panjang-menengah dan pendek.

C. Masalah-masalah Dunia (Konsep HAM dan Implementasinya)
                  Permasalah HAM di dunia memang sangat beragam, perbedaan pandangan, konsep, budaya dan geografis masyarakat dunia menjadikan HAM belum tuntas sampai sekarang. Namun demikian jika kita telusuri, ada dua masalah serius yang dihadapi dunia berkaitan dengan HAM, yaitu tentang issu-issu konseptual dan kendala implementasinya.
  1. Issu-issu konseptual adalah issu-issu mendasar yang berkaitan dengan konsep HAM dalam Deklarasi HAM tahun 1948:
·        Hak-hak itu tidak bisa dipisahkan dari kewajiban-kewajiban. Ini adalah problem  yang dihadapi oleh Deklarasi HAM dan warga negara Perancis pada 24 Juni 1793.
·        Kesenjangan sosio-ekonomi dalam Deklarasi Desember 1948[16], yang paling mungkin dipengaruhi oleh pandangan Marxis bahwa hak-hak politik tidak dapat eksis tanpa menjamin hak-hak sosial dan ekonomi.
·        Perlunya kejelasan definisi dan artikulasi hak-hak perempuan dan anak[17]
·        Hak-hak itu mesti bersifat multi-dimensi dan ada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pemeliharaan lingkungan.
·        Aksi afirmatif dan keseimbangan dengan HAM harus didiskusikan.
·        Perlunya artikulasi yang akurat dan komprehensif mengenai apa yang disebut universal dan kultural dan ketujuh, tidak adanya dimensi moral dalam HAM 1948.
  1. Hambatan Implementasi HAM. Sebagaimana keadilan yang dapat dirusak oleh keadaan tertentu, maka HAM juga tidak dapat dipertahankan ketika ada situasi-situasi yang tidak kondusif. Seperti peperangan dan rejim yang opressif[18], yang menjadikan minoritas-rakyat-ditundukkan oleh kemiskinan ekonomi[19] dan kultural, diintimidasi secara politik dan psikologis.
            Apabila hal ini terjadi, maka tidak ada tempat lagi bagi HAM individual, buta huruf yang dominan, kebodohan dan keterbelakangan menambah penderitaan mereka yang membuatnya mudah untuk dilecehkan. Kondisi dan lingkungan yang tidak mendukung ini tidak dapat menyediakan iklim yang kondusif untuk menjamin HAM, tidak juga memonitor mereka dan mencoba membela orang yang disalahkan.
            Hal terakhir yang menjadi refleksi adalah menumbuhkan rasa kesadaran, bahwa kita adalah satu umat walau berbeda rasa, suku dan agama yang mempunyai hak yang sama, saling menghormati dan dihormati yang pada akhirnya menumbuhkan keharmonisan interaksi antar sesama manuisa.  Amin.





Mencari titik temu keberagamaan, keragaman dan keseragaman di dunia
Lebih baik daripada mencari perbedaan dan menumbuhkan permusuhan
Karena…hidup terlalu singkat untuk di lalui dengan pertikaian…
(zakki Fuad)








Lampiran-lampiran Ayat:

Halaman
Surat -Ayat
Bunyi Teks


3



QS:7:172-173
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ   ÷rr& (#þqä9qà)s? !$oÿ©VÎ) x8sŽõ°r& $tRät!$t/#uä `ÏB ã@ö7s% $¨Zà2ur Zp­ƒÍhèŒ .`ÏiB öNÏdÏ÷èt/ ( $uZä3Î=ökçJsùr& $oÿÏ3 Ÿ@yèsù tbqè=ÏÜö7ßJø9$# ÇÊÐÌÈ  


3


QS:17:70
* ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ  


6

QS:28:88
Ÿwur äíôs? yìtB «!$# $·g»s9Î) tyz#uä ¢ Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 @ä. >äóÓx« î7Ï9$yd žwÎ) ¼çmygô_ur 4 ã&s! â/õ3çtø:$# Ïmøs9Î)ur tbqãèy_öè? ÇÑÑÈ  


6

QS:52:26-27
(#þqä9$s% $¯RÎ) $¨Zà2 ã@ö7s% þÎû $uZÎ=÷dr& tûüÉ)Ïÿô±ãB ÇËÏÈ  


6

QS:112:1-2
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ  


9

QS:2:180
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  





9






QS:5:109-111
* tPöqtƒ ßìyJøgs ª!$# Ÿ@ß9$# ãAqà)uŠsù !#sŒ$tB óOçGö6Å_é& ( (#qä9$s% Ÿw zOù=Ïã !$uZs9 ( y7¨RÎ) |MRr& ÞO»¯=tã É>qãäóø9$# ÇÊÉÒÈ   øŒÎ) tA$s% ª!$# Ó|¤ŠÏè»tƒ tûøó$# zNtƒótB öà2øŒ$# ÓÉLyJ÷èÏR y7øn=tã 4n?tãur y7Ï?t$Î!ºur øŒÎ) š?­ƒr& ÇyrãÎ/ Ĩßà)ø9$# ÞOÏk=s3è? }¨$¨Y9$# Îû ÏôgyJø9$# WxôgŸ2ur ( øŒÎ)ur šçFôJ¯=tæ |=»tFÅ6ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur sp1uöq­G9$#ur Ÿ@ÅgUM}$#ur ( øŒÎ)ur ß,è=øƒrB z`ÏB ÈûüÏeÜ9$# Ïpt«øŠygx. ÎŽö©Ü9$# ÎTøŒÎ*Î/ ãàÿZtFsù $pkŽÏù ãbqä3tFsù #MŽösÛ ÎTøŒÎ*Î/ ( äÎŽö9è?ur tmyJò2F{$# šÝtö/F{$#ur ÎTøŒÎ*Î/ ( øŒÎ)ur ßlÌøƒéB 4tAöqyJø9$# ÎTøŒÎ*Î/ ( øŒÎ)ur àMøÿxÿŸ2 ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) šZtã øŒÎ) OßgtGø¤Å_ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ tA$s)sù tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. öNåk÷]ÏB ÷bÎ) !#x»yd žwÎ) ÖósÅ ÑúüÎ7B ÇÊÊÉÈ   øŒÎ)ur àMøym÷rr& n<Î) z`¿ÎiƒÍ#uqysø9$# ÷br& (#qãYÏB#uä Î1 Í<qßtÎ/ur (#þqä9$s% $¨YtB#uä ôpkô­$#ur $oY¯Rr'Î/ tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÊÊÊÈ  








































Biografi Fathi Osman….













Mohamed Fathi Osman  adalah seorang penulis, wartawan, pemikir Muslim, Profesor Peneliti pada The Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown Uniersity, Washington DC, salah seorang pemikir, Guru besar Muslim ternama, warga Negara Pakistan, memperoleh gelar sarjananya  dalam hubungan Islam-Bezantium di Universitas Kairo, Mesir. Gelar Doktor  Ilmu Ekonomi dan Keuangan di Princeton University, New Jersey.
Beliau menyatakan sebagi pioneer pendukung reformasi pemikiran Islam  yang mendasarkan pada nilai-nilai demokrasi dan HAM perspektif Islam murni. Bergabung dengan reformis terkenal  Shaikh M al-Bahi dalam upaya mereformasi al-Azhar tahun 1960-an. Mengajar di Universitas of Oran (Aljazair), Riyadh, Princeton sebelum akhirnya Beliau kembali ke London  menjadi editor majalah bulanan Arabia, The Islamic World Reviw.
Karya-karya beliau :
-          The Islamic Thought and human change
-          An Introduction to The Islamic History
-          Human Right between the Westem Thought an The Islamic Law
-          On The political Experience of The Contemporary Islamic Movement
-          The Muslim World
-          Issue and Challenges
-          Jihad: A Legitimate Struggle for Human Right
-          Dll.




*) Makalah dipresentasikan diseminar kelas Program Doktor (S-3) IAIN Sunan Ampel Surabaya Mata Kuliah Metodologi Studi Islam di bawah bimbingan Prof.DR.H.M.Amin Abdullah,MA tanggal 10 Januari 2010.
[1] Fathi Osman, Rethingking Islam,  dalam http://www.newsline.com – religion-makalah. htm. (24 Nopember 2009).

[2] Mohamed Fathi Osman, The Children Of Adam: an Islamic Perspective on pluralism, (trj.Irfan Abu bakar), (Jakarta: Paramadina, 2006), h.2-3.
[3] DR.Fathi Osman, Pluralisme di Era Global,  dalam Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan, (Jakarta:Yayasan Paramadina, 2006), h.4.
[4] Teks ayat al-Qur’an terlampir.
[5] DR..Fathi Osman, Towards an Islamic Dynamism in an Era of Globalism, dalam http/www.kazi.org, fathiosman-makalah.(7 Nopember 2009)


[6] DR.Fathi Osman, Human Rights in Islam , dalam http/www.cmcu_fathiosman_makalah.co.id .(22 Nopember 2009).  The Center for Muslim – Christian Understanding adalah pusat kajian pemahaman Muslim Kristen yang berdiri pada tahun 1993 di Georgetown University Washington DC. DR.Fathi Osman adalah Profesor ahli riset di Univ. ini.
[7] DR.Fathi Osman, Human Rights in Islam..h.2-3.
[8] Fathi Osman, Rethingking Islam and Modernit, Essays in Honour of Fathi Osman, dalam Abdelwahab el-Affendi (London:the Islamic Foundation,2001), h. 35.

[9] Teks Ayat-ayat  terlampir
[10] Fathi Osman, Rethingking Islam and Modernity. h. 37.
[11] Fathi Osman, Rethingking Islam and Modernity. h. 43-55.
[12] Al- Qura’an nemggumakam kata ‘zawj jamaknya azwaj’ yang diartikan istri dan para istri secara berturut-turut dalam al-Qur’an; 2:35, 4:12 dan 20, 6:139, 7:19, 33:4 dan 6, 50, 59, 60:11. begitu juga dengan arti suami dan jamaknya, yaitu: 2:230 dan 232, 58:1.  Fathi Osman, Rethingking Islam and Modernity ..h.44.
[13] Fathi Osman, Rethingking Islam and Modernity ..h.45.
[14] Al-Qur’an 2:180, 240; 5:109-111.
[15] Konferensi PBB ke-4 untuk perempuan Beijing, September 1995 seperti yang dilaporkan oleh persatuan Wanita Muslim Los Angeles California, sbb:
Peran perempuan dalam masyarakat terus berubah dan menjadi komplek. Meskipun konferensi tidak menfokuskan secara langsung masalah agama, namun Islam menjadi idola dan sorotan dalam sejumlah perdebatan. Islam diklaim ‘oleh lainnya’ sebagai oposisi-atas persamaan perempuan—yang melawan keseluruhan poin-poin HAM untuk perempuan. Umat Islam takut mendiskusikan issu-issu yang berhubungan dengan seksualitas di mana sistem nilai mereka tidak cocok. Suasana konferensi tersebut tidak menyediakan kesempatan yang efektif untuk mempresentasikan gambaran Islam yang balance, tidak juga ada landasan filosofis utama untuk masalah ini, sehingga forum yang tidak memadai ini-secara khusus –membuat frustasi karena semakin menguatkan stereotype negatif terhadap Islam yang terus menerus ada di seluruh dunia. Jawaban yang jelas /nyata atas stereotype tersebut adalah bahwa umat Islam mesti mendiskreditkan mereka melalui aksi nyata, daripada pidato-pidato yang idealis. Aksi nyata tersebut diperlukan untuk merespon secara pro-aktif masalah kesehatan, kemiskinan, dan kekerasan terhadap perempuan yang dialami komunitas muslim di seluruh dunia.
Meskipun Islam kadang-kadang dipandang dengan sorotan negatif olehe delegasi lain, namun sikap dan tingkah laku para delegasi muslim dari berbagai negara   mampu merubah image yang sedikit banyak merubah stereotype negatif mereka terhadap Islam. Beberapa muslim yang hadir merasa bahwa kenyataan yang dihadapi perempuan dalam membina keluarga, dijadikan obyek kekerasan dan pelanggaran hak-hak mereka, dan membuat mereka dipaksa masuk ke dalam hubungan yang eksploratif, dan juga disimpulkan bahwa ide-ide Islam jauh dari implikasinya /kenyataan, bahwa di negara-negara yang diperintah dengan syari’ah. Fathi Osman, Rethingking Islam and Modernity..h.46-47.


[16] Dan perjanjian hak-hak ekonomi, social dan budaya internasional muncul pada 16 Desember 1966, yang menjadi efektif sejak 15 Juli 1976, bersamaan dengan perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Kemudian, perjanjian Vienna dan program aksi yang mengikutinya pada 25 Juni 1993 mencoba memperlihatkan keterkaitan yang kuat antara hak-hak, demokrasi dan pembangunan, seperti yang dikatakan oleh John Shattuck, asisten sekretaris Negara AS untuk hak-hak manusia dan kemanusiaan.
[17] Issu ini direspon oleh Konferensi Vienna yang mencoba menjamin lebih banyak hak untuk perempuan dan anak, menyerukan perhentian pelecahan seksual dan kekerasan berbasis gender, dan menyusun sebuah target pada tahun 1995 untuk ratifikasi universal dari konvensi PBB ke-4 tentang perempuan dan forum NGO. Tujuan penting dari semua upaya itu adalah bahwa pengabaian terhadap kejelasan definisi dan artikulasi hak-hak peempuan dan anak akan menjadi kejahatan hukum dan moral yang sangat serius yang melawan sebagian besar sisi kemanusiaan yang membutuhkan perlindungan dan menjadi korban penyiksaan dan penindasan.
[18] Rejim opressif yang menindas dapat sangat berbahaya. Bagi masyarakatnya dengan kejahatan militer yang destruktif. Padahal ‘rasa aman’ secara psikologis merupakan hak manusia yang paling dasar yang sama pentingnya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok, dan al-Qur’an secara siginifikan menghubungkan keduanya sebagai anugerah dan ujian Tuhan yang sangat penting.
[19] Kelaparan tekah menjadi kejahatan dan senjata yang mematikan yang menghantam orang-orang yang tidak berperang seperti orang tua, penyandang cacat, wanita, dan anak-anak yang tidak dapat membela diri atau melepaskan dari bahaya.